Kiranya tidak asing bagi kita yang sekolah di SD sekitar tahun 90-an oleh guru di sekolah ditanya, "Siapa idolamu?" Tentunya beragam jawaban anak-anak kala itu. Banyak tokoh yang disebut sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut, seperti tokoh Nabi, para sahabat, Kyai, ulama, presiden, orang tua, guru, tokoh masyarakat, tokoh sejarah, artis, tokoh luar negeri, atau tokoh dalam negeri. Ada anak yang menjawab hanya satu idola ada pula anak yang menjawab memiliki lebih dari satu idola. Ada yang menjawab mantap ada yang harus pause dulu untuk berpikir dalam menjawab. Ada anak yang menjawab tokoh nyata, tetapi ada pula anak yang dengan PD-nya menyebut tokoh fiktif semacam pendekar, yang ada di film atau cerita, entah mungkin karena anak bingung, ingin sekedar lucu-lucuan, atau memang karena terinsporasi dari tokoh fiktif tersebut. Jawaban sangat beragam seberagam anak-anak SD kala itu.
Pertanyaan, "Siapa idolamu? itu pula yang penulis alami semasa di sekolah dasar sekitar tahun 90-an. Pada waktu itu dengan cara pikir kami yang spontan, sederhana, dan polos ala anak-anak, kami kebanyakan menjawab Nabi Muhammad, Ir.Soekarno, Bapak, Ibu, Guru, Pak Habibie, Jenderal Ahmad Yani, Ibu kita Kartini, KH. Zaenudin MZ, Bery Prima, dan Nike Ardhila. Ya, memang idola anak-anak sangat beragam antara satu dengan yang lain. Teman-teman yang memilih Nabi Muhammad mengatakan bahwa, beliau adalah memang suri tauladan bagi umat. Sementara teman-teman yang memilih Ir. Soekarno adalah karena bangga atas jasa-jasanya untuk Indonesia. Teman-teman memilih idola artis karena suaranya yang merdu, cantik, atau gagah dan ganteng. Sedangkan teman-teman yang memilih Jenderal Ahmad Yani karena gagah berani dan berjuang untuk Indonesia. Ketika saya dan teman-teman ditanya alasannya memilih tokoh itu memang sangat beragam, dan kadang pula ada yang membuat sekelas tertawa dan guru tersenyum. Waktu itu guru kami tak mempersoalkan siapa yang menjadi idola kami, tetapi yang terpenting adalah kami diminta untuk mengidolakan tokoh yang memiliki akhlak yang terpuji, budi pekerti atau unggah-ungguh yang baik, bisa dicontoh, senang berbuatk kebaikan, cinta tanah air, taat beribadah, dan menjadi penyemangat mencapai cita-citamu yang mulia.
Perbedaan tokoh idola anak-anak merupakan hal yang lazim. Hal itu pada dasarnya dipengaruhi oleh latar belakang anak, meliputi pengetahuan dan wawasan anak, pendidikan anak, lingkungan keluarga, dan masyarakat di mana anak-anak tumbuh dan berkembang. Anak-anak yang berasal dari keluarga dan masyarakat kental atau minimal dekat dengan kehidupan pesantren umumnya akan menjawab Nabi Muhamad, para sahabat, atau dari kalangan ulama Kyai. Anak-anak yang menyukai sejarah akan menjawab Ir. Soekarno, Jenderal Ahmad Yani, dan tokoh-tokoh perjuangan. Anak-anak yang senang dengan tokoh-tokoh cerdas akan memilih Pak Habibie. Anak-anak yang sangat dekat dengan orangtua atau guru, mereka umumnya banyak menjawab orangtua dan gurulah idola mereka. Anak-anak perempuan yang suka akan tokoh perempuan sering memilih Ibu Kita Kartini sebagai idola mereka. Anak-anak memilih idola artis karena ingin bisa benyanyi dengan suara merdu, ingin cantik, atau ingin ganteng.
Menurut pengamatan penulis, pengidolaan anak terhadap seorang tokoh ada dua sifat yaitu tetap dan dinamis. Dari kedua sifat tersebut, umumnya pengidolaan anak terhadap tokoh bersifat dinamis. Dinamis di sini berarti bahwa, pengidolaan anak terhadap tokoh dapat berubah seiring tumbuh kembang anak dalam lingkungannya. Seiiring bertambahnya pengetahuan dan wawasan, serta adanya pengaruh lingkungan, idola anak akan dapat berubah dari tokoh satu kepada tokoh yang lain. Perubahan pengidolaan tokoh ini dapat berkurang, beralih, atau bertambah. Tokoh yang diidolakan anak ketika masih usia sekolah dasar mungkin berbeda ketika remaja. Hal itu mungkin pula berubah ketika sudah dewasa. Pengidolaan bersifat tetap manakala tokoh yang merupakan panutan adalah tokoh yang memang ideal. Ideal di sini dapat dilihat dari sisi baik secara agamanya dan baik pula secara kehidupannya. Sebagai muslim tentunya banyak anak-anak mengidolakan idola tetap, yaitu Nabi Muhammad dan idola tokoh lain seperti Ir. Soekarno, dll.
Bagaimana penulis menjawab pertanyaan "Siapa idolamu?"? Penulis sedikit refleksi ke belakang ketika masih di sekolah dasar sekitar tahun 1996 dan 1998. Penulis mantap menjawab Pak Umar. Sekedar informasi, Pak Umar adalah guru kelas IV waktu itu. Beliau adalah guru yang menurut saya baik hati karena sering meminjami buku-buku. Sebagai sekretaris kelas, saya sering dipinjami buku-buku pelajaran milik untuk dibaca dan dicatat di rumah serta dikembalikan esok harinya. Saya dipinjami karena saya mencatatkan di papan tulis, yang otomatis saya tertinggal catatan apa yang saya tuliskan di papan tulis dibanding teman-taman. Waktu itu saya menunaikan tugas mencatat di papan tulis dengan senang hati, tidak ada rasa terpaksa atau nge-grundel atau nge-dumel. Tentu sangat berbeda dengan kondisi SD saat ini. Sepengamatan penulis sejak tahun 2009 sampai sekarang tahun 2016, tidak ada lagi guru yang menugaskan siswanya mencatatkan materi pelajaran di papan tulis.
Tidak adanya lagi siswa yang diminta mencatatkan materi pelajaran di papan tulis oleh guru, disebabkan dua hal. Pertama sebagai akibat perubahan paradigma baru pendidikan di mana otoritas guru menjadi semacam "tereduksi" dengan istilah sebagai fasilitator dengan siswa sebagai subjek didik yang aktif memperoleh dan mengkonstruksi pengetahuaannya sendiri dalam pembelajaran. Sepengamatan dan sepengetahuan penulis, dulu guru merupakan sosok sentral pembelajaran di kelas. Sekarang siswalah yang merupakan sentral pembelajaran. Sebagai sentral pembelajaran sekaligus subjek didik, siswa memperoleh pengetahuan tidak hanya sering dari proses, "catat-simak-latihan-evaluasi". Lebih jauh siswa dapat memperoleh pengetahuannya dengan membaca buku-buku atau sumber-sumber lain yang relevan. Sebab kedua adalah karena sekarang pembelajaran didukung 1 siswa 1 buku per mata pelajaran. Buku pelajaran merupakan hal yang bukan asing lagi dimiliki oleh setiap peserta didik. Bahkan buku pun merupakan salah satu poin terpenuhinya standar pelayanan minimal (SPM) di setiap sekolah di Indonesia. Berbeda dengan ketika penulis masih SD. Waktu itu tidak semua anak memiliki buku pelajaran sendiri, memiliki buku pelajaran sendiri masih merupakan sesuatu yang langka. Buku hanya dimiliki oleh anak-anak yang tergolong dari keluarga berada.
Dalam dunia pendidikan pesantren, ditugasi oleh guru merupakan "keberkahan" tersendiri. Banyak santri yang meski tidak ditugasi (disuruh)/bukan tugas, dengan inisiatif sendiri mencari "keberkahan" itu, misal menata sandal Kyai di masjid. Saya memang senang dengan tugas mencatat di papan tulis. Alih-alih terpaksa dengan tugas dari Pak Umar, malah semacam saya dapat berkah dengan seringnya nangkring di peringkat lima besar. Tentu bukan karena saya dapat bocoran atau kunci jawaban, tetapi karena seringnya membaca buku miliki guru, saya menjadi selangkah lebih dulu tahu dan paham materi-materi yang akan diajarkan tiap pertemuan satu dengan pertemuan berikutnya. "Keberkahan" tugas dari guru saya sewaktu SD, ternyata saya rasakan juga setelah saya lulus. Hal itu terasa ketika saya mengikuti ujian wawancara dan praktik simulasi mengajar dalam seleksi penerimaan mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta, alhamdulillah saya diterima. "Keberkahan" itu pun semakin terasa dengan sekarang penulis dapat mewujudkan cita-cita menjadi guru.
Sumber :
http://pitoyo.com/pitoyoamrih
http://eprints.ums.ac.id/38912/1/02.%20Naskah%20Publikasi.pdf
http://www.ummi-online.com/menjadikan-rasulullah-sebagai-idola-anak-anak-kita.html
http://www.jawapos.com/
http://www.jawapos.com/read/2016/10/19/58457/berapa-persen-orang-cantik-/3
http://sinopsisdramajepang.blogspot.co.id/2016/03/sinopsis-natsumis-firefly-film-jepang.html
0 Comments
Posting Komentar